Bedah Buku Andrea Yates: Belajar dari Tragedi


Andrea Yates adalah seorang ibu 5 anak yang mengaku 'mengirim' anak-anaknya ke surga karena tidak ingin anak-anaknya masuk neraka karena kelakuan buruk mereka yang nyatanya masih wajar untuk anak-anak di bawah 10 tahun. Tak masuk di akal dan nalar kelakuan seorang ibu yang seperti itu. Mengapa tega seorang ibu menghabisi nyawa anak-anaknya sendiri? Sedih dan miris. Nyatanya, Andrea Yates memilih menjadi pahlawan untuk anak-anaknya. Biarlah ia masuk neraka tapi anak-anaknya bisa masuk surga karena meninggal di usia dini (belum baligh kalau versi Islamnya). Ini justru menunjukkan kasih sayang Andrea pada anak-anaknya. 

Sayangnya, Andrea terlahir di keluarga yang relijius dengan segala aturan dan norma yang wajib dipatuhi. Sejak kecil ia terbiasa dengan hukuman dan ancaman neraka hingga super ego dalam dirinya dengan kuat menghukum dirinya sendiri saat berbuat kesalahan bahkan yang kecil sekalipun. Itulah yang membuatnya merasa tak ada harapan bagi kelima anaknya dengan kelakuannya yang luar biasa setiap hari yang sulit diatur, tidak menurut, dan selalu membuat keributan. 

Tidak hanya itu, nyatanya Andrea sejak kecil sudah mengalami gangguan mental yaitu bulimia yang tidak pernah ditanggapi dan diobati secara serius oleh keluarganya hingga akhirnya mental state Andrea berubah parah dari neurotik menjadi psikotik. Jiwa Andrea yang sudah rapuh menjadi semakin rentan karena tuntutan dari suaminya dan pendetanya yang menginginkan Andrea memiliki banyak anak dan jangan ber-KB. Hingga kehadiran 5 anaknya dengan jarak hanya 1 hingga 2 tahun membuat Andrea lelah fisik dan jiwanya yang terus hamil, melahirkan, menyusui, lalu hamil lagi dan seterusnya. 

Di sisi lain, ada keharusan bagi Andrea mendidik semua anaknya dengan homeschooling tanpa bantuan dari suaminya. Hingga akhirnya sampailah Andrea di titik itu. Di mana seharusnya ia mengonsumsi obat dari psikiaternya dengan rutin, tapi pendetanya terus berkata bahwa dokter dan obat itu jahat hingga Andrea memuntahkan lagi obatnya itu. Suatu hari, Andrea meminum habis obat yang seharusnya diminum rutin selama 3 minggu. Keseimbangan hormon di tubuhnya menjadi kacau karenanya. 

Tak kuat dengan tekanan dari berbagai sisi, dari keluarganya, dari suaminya, dari pendetanya, dan dari anak-anaknya, bahkan dari dalam dirinya sendiri, pun tak ada support system untuknya, semua seakan menekannya. Andrea pun merancang cara mengirim anak-anaknya ke surga selama sebulan. Cara menenggelamkan mereka dirasa cocok dengan bayangannya akan jiwa-jiwa penghuni surga yang disucikan dengan air. Setelah tragedi itu terjadi pun, super ego Andrea berkata 'kamu bersalah', 'kamu harus menyerahkan dirimu', ya Andrea melaporkan dirinya sendiri ke pihak berwajib. Wajah yang ditunjukkannya saat ditangkap hanyalah wajah yang dingin dan datar, tanda sudah terputusnya Andrea dari realita yang menghimpitnya. 

Andrea pun berakhir di penjara menjalani masa hukuman seumur hidupnya. Keluarga dan suaminya pun tak merasa bertanggung jawab atas nasib Andrea. Suaminya memutuskan untuk menceraikan Andrea dan menikah lagi. Tak disangka, Andrea justru berkata 'jangan tinggalkan aku' kepada suaminya.

Sungguh sedih dan miris mendengar ceritanya. Jika orang lain akan berkomentar sungguh tega kelakuan  seorang ibu pada anaknya seperti itu, maka tidak dengan saya. Sudah terbayang penderitaan luar biasa yang dialaminya hingga akhirnya ia bisa bertindak demikian. Beratnya luka pengasuhan yang Andrea alami sejak kecil dengan berbagai penjejalan syariat agama membentuknya menjadi pribadi dengan super ego tinggi yang sangat keras mengkritik dirinya sendiri. Menurutnya ia harus menjadi perempuan sholehah versi agamanya, bahwa ia harus sempurna sebagai anak, sebagai istri dan ibu. Ia pun dituntut harus memiliki banyak anak dan mendidik sendiri anak-anaknya. Belum lagi kewajibannya mengurus rumah tangga dengan segala urusan domestiknya yang melelahkan. Dan semua itu dibebankan padanya sendirian. Ia lelah dan kesepian tanpa bantuan suaminya. 

Kisah Andrea ini benar-benar menjadi pelajaran agar jangan sampai tragedi Andrea ini terulang kembali. Hal ini mengingatkan saya untuk jangan terburu-buru menanamkan beragam syariat pada anak di usia dini. Terutama berhati-hati dengan apa yang kita ucapkan pada anak usia dini karena apa yang kita ucapkan mungkin akan diinternalisasi anak sehingga membentuk super egonya. Pelajaran penting dari Teh Diah untuk menginstall super ego yang sehat bagi anak adalah dengan menanamkan juga cara supaya anak bisa memaafkan dirinya sendiri. Caranya yaitu dengan memahamkan bahwa Allah Maha Pemaaf dan Allah menerima taubat orang-orang yang bertaubat sebanyak apapun dosa orang itu. Bahkan jika orang itu seringkali mengulang dosanya dan bertaubat berulang kali, maka sebanyak itu pula Allah akan mengampuni. Ini akan menghindarkan anak dari terlalu keras menghukum dirinya sendiri.

Kisah ini juga menjadi pengingat untuk mendidik anak laki-laki agar bertanggung jawab atas istri dan anak-anaknya termasuk keadaan batinnya. Lalu, yang terpenting, kisah ini juga menjadi pelajaran bagi saya sebagai ibu, ketika kenyataan tak sesuai dengan harapan, ketika semua hal ingin kita kendalikan dan nyatanya kita tak mampu, sadarilah bahwa kita terlalu bergantung pada kemampuan diri sendiri. Bergantung pada kemampuan diri hanya akan membawa kehancuran dan putus asa. Allah ingin menunjukkan pada kita bahwa kita adalah manusia yang lemah. Tiada daya dan upaya melainkan dengan kekuatan Allah. Kelakuan dan kondisi anak dan suami yang kurang berkenan tidak semata-mata hanya karena kesalahan istri dan ibu selama ikhtiar sudah sempurna. Menitipkan pasangan dan anak kepada Allah untuk dijaga dan selalu meminta kekuatan pada Allah untuk dimampukan mengemban amanah ini akan jauh menjadikan mental ibu lebih tenang dalam menjalani dinamika rumah tangga. 

Yang terakhir, kisah ini juga mengajarkan saya untuk lebih empati pada setiap ibu yang pasti akan menanggung lebih banyak beban emosional dalam kehidupannya dibanding laki-laki. Juga mengingatkan saya untuk terus memperkuat diri dengan vaksin mental. Perempuan 3 kali lebih mudah stress dan butuh waktu 3 kali lebih lama untuk pulih dari stress dibanding laki-laki karena sisi rasa pada perempuan yang lebih dominan. Untuk itulah ilmu tentang kesehatan mental sangat penting bagi perempuan sebagai jantung rumah tangga. Dengan vaksin mental, perempuan dapat mengantisipasi kejatuhan mental dan kalaupun jatuh bisa lebih cepat bangkit lagi. Wallahua'lam bishowaab.




Komentar

  1. ya Allah ... beneran ini teh aku juga bertanya-tanya : "Mengapa tega seorang ibu menghabisi nyawa anak-anaknya sendiri?" Jadi sedih dan miris ya atas kejadian seperti ini.

    salam semangat

    BalasHapus
  2. Sedih ya Teh, tiba-tiba aku ingat kasus mamah alumni gajah yang membunuh anak-anaknya, lupa siapa namanya tapi beberapa tahun yang lalu. Kita ngga pernah tahu cerita aslinya, mungkin beliau pun ada masalah yang sama.

    Saya setuju tentang tidak perlu buru-buru mengajarkan syariat kepada anak, semoga Allah menjaga kita dan anak-anak kita

    BalasHapus
  3. Baru tahu kisah Andrea dari tulisan ini teh. Sungguh berat beban Ibu, lebih jauh lagi luka masa kecilnya berat. Anak semua suci, lingkunganlah yang bentuk.

    BalasHapus
  4. Waduh, ini memang kalau semua terlalu ingin sempurna tanpa bantuan orang lain termasuk suami, lalu jadi depresi dan pikiran ga jernih ya. Semoga kita para mamah bisa lebih menerima tidak ada ibu yang sempurna dan mau menerima bantuan jika memang membutuhkannya. Semoga jangan ada lagi kasus2 seperti Andrea Yates ini di kemudian hari.

    BalasHapus
  5. Teteh berani amat baca bukunya.... aduh kalau bukunya udah sedih-sedih begini biasanya aku nggak akan berani baca. Tapi aku kebeneran baru banget merenungkan hal yang agak mepet masalah ini...
    jadi ceritanya aku marah banget dua hari lalu karena liat ada anak muridku dicecar terus sama guru lain. Trus aku mikir kenapa aku marah banget, sampe maraaaah banget. Kadang kita memegang value yang benar sesuai dengan Kitab Suci misalnya, tapi bukan value-nya yang diagungkan, tetapi kenyataan bahwa kita berhasil menjalankan kebenaran itu yang dijunjung tinggi.
    Jadi masalah si Andrea ini dia kayaknya dibesarkan hanya berpatokan: we're and we suppose to be holy people, trus jadi semua dibenarkan whatever it is. nggak ada kasih lagi, nggak ada toleransi lagi kepada kenyataan kalau kita manusia nggak sempurna, dan anak-anak itu juga belum bisa sepenuhnya bertanggung jawab kayak orang dewasa.
    Tragis banget sih ini, mengikuti jalan agama, tapi nggak punya kasih itu memang mengerikan. bakal cuma jadi polisi moral aja..

    BalasHapus
  6. Mamah Nanda, ya Allah saya sedih sekali membacanya. Makasiiy ya sudah menuliskan sinopsis buku mengenai Andrea Yates ini. Sejak kecil sudah di-'abuse' oleh orang-orang yang seharusnya merangkulnya, tetapi... owalah sedihnya. :(

    Betul sekali, Nanda, saya setuju dengan yang disarankan oleh Teh Diah, bahwa sejak dini anak kita ditanamkan bahwa Tuhan Maha Pengampun, Maha Pengasih, dan Maha Penyayang. Bukan selalu menakut-nakuti dengan neraka. :(

    Mirip ya dengan latar belakang para psikopat, masa kecilnya tidak bahagia, penuh penderitaan, dan tidak ada kasih sayang, serta di-abuse secara mental dan fisik oleh orangtuanya. Semua elemen tersebut menghasilkan seorang 'manusia monster'. :(

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Handwriting Analysis (Analisis Tulisan Tangan/Grafologi) Bagian 2

Handwriting Analysis (Analisis Tulisan Tangan/Grafologi) Bagian 1

Senna's VBAC Story