High Arched Palate: Diagnosa Anak Kedua

Saat sedang bebersih berkas dan isi lemari, saya menemukan surat dokter untuk cuti kuliah di tahun 2019 karena suatu kondisi anak kedua saya yang saat itu sedang memerlukan perhatian khusus. Saya saat itu berpikir anak saya hanya punya kondisi khusus saja dan dengan berbekal sabar dan ikhtiar insya Allah sembuh. Setelah sedikit browsing, ternyata tidak sesederhana itu juga kala melihat diagnosa dokter yang tertulis dalam surat. High arched palate, itu diagnosa yang dituliskan untuk anak kedua kami di 3 bulan usianya setelah saya mengalami kesulitan menyusui sejak hari pertama ia mau menyusu. Hari ini, alhamdulillah anaknya sudah jadi balita yang insya Allah sehat, aktif, dan supel. Mengingat usianya sebentar lagi akan menginjak 2 tahun, sudah waktunya akan disapih, tapi mengingat perjuangan saya dulu untuk bisa memberinya banyak ASI kok rasanya tidak tega. Saya merasa hanya baru-baru ini saja ia menikmati proses menyusui setelah berbulan-bulan lamanya berjuang dan menderita sebagai bayi baru lahir yang belum tahu banyak hal. Apakah memilih meneruskan menyusui lebih dari 2 tahun selama ASI masih ada adalah keputusan yang baik? Ah, biarlah waktu yang menjawabnya, biarlah Allah yang tunjukkan jalannya. Hari ini, ijinkan saya mengenang perjuangan bersama denganmu, anak kedua yang lahir dan ikut berjuang mewujudkan impian ibunya untuk mengalami VBAC.


HARI-HARI PERTAMA

Hari itu setelah melahirkannya dan menunggunya dipertemukan dengan kami orangtuanya, saya langsung berusaha menyusuinya. Meskipun ASI belum pernah keluar selama hamil, tapi dengan ikhtiar berbekal pengetahuan dari melahirkan anak sebelumnya, alhamdulillah ASI sudah keluar di hari kedua. Namun, ternyata perjuangan menyusui anak kedua baru dimulai. Meskipun ASI dan kolostrum sudah keluar dengan dipijat, anak kedua kami selalu hanya mau menyusu sebentar saja, tak lebih dari 5 menit. Sejak isapan pertama, selalu terdengar suara janggal "ck ck" tiap menyusu diselingi dengan sesi tersedak, lepas puting, lalu dibujuk untuk menyusu kembali. Tapi tidak bertahan lama, karena setelah 2-3 kali tersedak, ia frustasi dan akhirnya tidak lagi ingin menyusu, meskipun masih lapar.

Bayi yang rewel karena kembung dan kolik selalu menghiasi malam-malam pertama kami. Saya harus berjaga sepanjang malam untuk menyusuinya selama hanya 5 menit setiap 30 menit lalu memastikannya bisa bersendawa karena perutnya selalu lebih banyak terisi udara daripada ASI. Tak ada cerita ia tertidur lelap karena kenyang. Yang ada hanyalah mau tak mau harus tertidur karena lelah berusaha menyusu dengan baik. Ia pun hanya bisa tertidur setelah dibedong dengan sangat erat dan digendong atau ditepuk-tepuk tanpa putus. Saya yang saat itu seharusnya sudah masuk ke lab untuk penelitian tugas akhir (tesis), tak bisa melakukannya dan sampai terpaksa cuti kuliah karena pikiran saya terus menerus ke anak kedua ini yang terlihat sangat menderita. Saya bolak-balik ke konselor menyusui di Limijati Bandung hanya berdua saja dengan si bayi karena takdir saya yang LDR dengan suami. Pun ketika harus jadi zombie tiap hari selama 3 bulan pasca melahirkan, saya terjaga sendirian bersama bayi. Masih alhamdulillah ada eyang yang menemani si kakak di kamar terpisah.


PRODUKSI ASI DAN PROSES MENYUSUI

Di bulan ketiga kelahirannya itu juga produksi ASI sudah sangat menurun drastis. Ikhtiar sudah dilakukan mulai dari rutin pumping, konsumsi suplemen menyusui berbagai merk, sampai konsumsi domperidone. Saya bahkan membeli dan mengkonsumsi sendiri domperindone itu tanpa resep dokter sewaktu si bayi sakit batuk pilek tidak sembuh-sembuh di usia 7 bulan dan 10 bulan. Pikir saya waktu itu kasihan sekali anak ini sulit sekali sembuhnya tanpa dibantu ASI yang melimpah. Ya memang sampai saat itu hanya domperidone saja yang paling ampuh meningkatkan kuantitas ASI. Tapi saya tahu saya salah, akhirnya saya konsultasi lagi dengan konselor menyusui yang sama untuk dibantu sedikit demi sedikit lepas dari ketergantungan domperidone karena efek setelah berhentinya bisa membuat kuantitas ASI malah jauh lebih sedikit dibanding sebelum konsumsi domperidone.

Berbeda dengan kakaknya yang sewaktu bayi gendut ASI sampai merangkaknya terlambat, adiknya cenderung langsing. Meskipun demikian, masih alhamdulillah sejak bayi selalu di garis hijau atau kuning bawah dengan berbagai ikhtiar. Dari konselor menyusui pun tidak ada intervensi khusus yang bisa dilakukan ke si bayi karena high arched palate berbeda dengan lip tie atau tongue tie yang bisa dilakukan pembedahan kecil ketika sudah sangat mengganggu proses menyusui. Seiring berjalannya waktu, si bayi menemukan caranya sendiri untuk bisa menyusui dengan baik dan meminimalisasi tertelannya udara atau tersedak yaitu dengan memasukkan hanya bagian putingnya saja ke dalam mulut saat menyusui, berbeda dengan proses menyusui pada umumnya yang harus memasukkan puting dan sebagian besar areola. Meskipun selama proses menyusui saya terus tak putus membaca al-fatihah atau dzikir dan istigfar supaya Allah berkenan memberikan belas kasihannya kepada bayi ini yang untuk bisa menghapus rasa laparnya saja harus menderita sedemikian rupa.


KOLIK DAN EMPENG

Seiring berjalannya waktu, juga berbagai ikhtiar mulai dari suplemen dan probiotik hingga rutin pijat ILU dan gowes, keluhan kolik dan kembung si bayi mulai berkurang. Ia semakin mudah untuk sendawa dan juga kentut. Semakin yakin dan diingatkan lagi akan kuasa Allah yang menjadikan kentut sebagai nikmat yang luar biasa yang tanpanya tentu bisa mendatangkan berbagai penyakit. Perlahan ia mulai bisa tidur dengan bedong yang longgar lalu di usia 4 bulan ia sudah bisa tidur tanpa bedong. Mungkin karena rasa nyamannya sudah didapatkan dari empeng. Ya, memang saya memberinya empeng untuk kenyamanan tidurnya. Kasihan sekali bayi kecil yang masih butuh banyak waktu tidur untuk pertumbuhan badannya tidak bisa tidur nyenyak karena tidak pernah kenyang dari menyusu. Menyusu saat malam juga sudah mulai membaik dari yang awalnya saya harus dalam posisi duduk dan harus selalu menyendawakan dengan menegakkannya, sampai ia bisa menyusu dalam posisi tiduran tanpa perlu disendawakan lagi. Bagi saya waktu itu adalah nikmat tiada tara bisa menyusui bayi sambil tiduran. Sejak tahu dia cocok dengan empeng, saya membelikan beberapa empeng lagi untuk ganti-ganti saat kotor dan juga membeli rantai empengnya. Tentunya pemberian empeng harus diperhatikan dengan ketat dan harus dipastikan empeng dalam keadaan senantiasa bersih dan steril. Saat beberapa empeng sudah dibeli, ternyata dia hanya bisa memakai pigeon step 2 saja dan tidak bisa merk lain atau pigeon step yg lain, selalu lepas saat dikenyot. Mungkin karena anatomi mulutnya yg cocok dengan pigeon step 2.


MPASI DINI

Berhubung kuantitas ASI sudah menurun sejak si bayi usia 3 bulan, di usianya yang 5 bulan saya sudah panik bagaimana mengejar pertambahan berat badannya supaya di garis hijau. Saat itu saya hanya banyak membaca buku dan internet saja untuk memastikan si bayi sudah siap menerima makanan padat, meskipun seharusnya saya konsultasi dengan dokter spesialis anak, tapi saya yakin ini adalah alasan yang diperbolehkan untuk melakukan MPASI dini. Saat ia sudah terlihat tertarik dengan makanan dan proses makan, saya berikan sedikit demi sedikit bubur blender menu 4 bintang lengkap dengan lemak tambahannya mulai dari sekali sehari hingga sudah lancar makan di 7 bulan 3 kali sehari. Sayangnya setelah 2 bulan MPASI, berat badan tidak juga menampakkan pertambahan yang signifikan. Kemungkinan karena organ pencernaan belum terlalu matang karena sejak mulai makan, meskipun ia semangat dan banyak makan, sayangnya frekuensi dan kuantitas pengeluarannya juga banyak. Dari sini ikhtiar probiotik lebih digencarkan lagi untuk membantu mematangkan organ pencernaannya. Selain itu, ikhtiar pemberian susu formula juga semakin digencarkan.


SUSU FORMULA DAN DOT


Berhubung saya melahirkan tepat di masa UAS waktu itu, setelah melahirkan saya masih harus belajar untuk UAS. Tujuh hari setelah melahirkan saya pergi ke kampus menggunakan gojek (sejak awal hamil pun saya selalu pulang-pergi kampus menggunakan gojek karena alasan kepraktisan) untuk menghadiri ujian. Dan sebelum saya tinggal, si bayi sudah saya kenalkan dengan dot karena media menyusui yang lain tidak bisa membuat ia bisa minum banyak ASI, tentunya yang memberikannya bukan saya, tapi eyangnya, ayahnya, atau pengasuh. Sebagai ikhtiar supaya anaknya tidak bingung puting juga saya membeli 2 jenis dot yaitu yang avent wide neck dan pigeon slim neck. Meskipun pada akhirnya, kesulitan yang ia alami juga sama seperti menyusu langsung pada saya yaitu sering tersedak. Akhirnya proses menyusu dengan dot pun perlu ketekunan care givernya yg menenangkan si bayi ketika tersedak dan membujuk untuk menghabiskan ASIPnya lagi. Karena kondisi khususnya itu, kuantitas ASIP yg diminum pun tidak sebanyak yg seharusnya. Hingga usianya hampir 2 tahun sekarang ini, dia hanya bisa menghabiskan paling banyak 60 mL sekali minum, bahkan untuk susu formula. Pemberian ASIP di dot berhenti sejak awal pandemi saat usianya kira-kira 9 bulan karena saya sudah tidak berangkat ke kampus lagi dan bisa full menyusuinya langsung. Namun karena masih ikhtiar untuk mengejar berat badannya, selain dari MPASI, saya berikan juga susu formula.


LEPAS EMPENG

Saya tidak ingat pasti apa sebabnya dia tidak mau lagi memakai empeng, tapi pada suatu saat ketika saya terus di rumah dan bisa terus menyusui dia secara langsung, dia semakin pintar dan tahu triknya untuk bisa menyusu minim tersedak. Kemungkinan dia sudah mulai merasa nyaman menyusui langsung dan mau lepas dari empeng. Banyak cerita efek buruk menggunakan empeng yg sempat membuat saya khawatir tapi ternyata alhamdulillah tidak dialami oleh si bayi karena penggunaan empengnya yg hanya beberapa bulan saja dan hanya digunakan saat membantu tidur malamnya. Sejak lepas empeng pun sebenarnya dia masih belum bisa menyusu sampai tertidur, tapi justru alhamdulillah dia bisa tertidur sendiri ataupun dengan ditepuk-tepuk. Tapi seringnya dia menyusu, setelah selesai dia berguling-guling di kasur lalu tertidur sendiri. Mungkin ini kira-kira saat usianya setahunan.


LAHAP MAKAN

Sejak awal MPASI, si bayi memang selalu lahap makan. Saya bahkan pernah bersemangat sekali menyuapinya kala melihat dia yg terus meminta nambah tapi tak tahunya dia sangat kekenyangan dan muntah. Sejak saat itu saya lebih considerate lagi, anak tidak selalu paham bahwa perutnya sudah kenyang, saya yg harus menimbang porsi makannya. Meskipun sejak dulu hingga kini masih lahap makan, tapi berat badannya pun bertambahnya perlahan saja, tidak seperti porsi makannya. Ini karena memang frekuensi pengeluarannya menjadi semakin sering saat ia makan makin banyak. Mungkin sudah faktor keturunan. Sekarang saya sudah tidak mempermasalahkan berat badannya lagi. Yg penting ikhtiar memberikan makanan yg sehat dan bergizi seimbang saja.


TIDAK DOYAN SUSU FORMULA

Memang sejak diperkenalkan dengan susu formula, dia tidak bisa dibilang doyan, sudah mau minum 30 mL pun sudah bagus. Sampai sekarang pun hanya sekitar 30-60 mL. Botol susu untuk newborn pun masih bisa dipakai sampai sekarang. Berbeda dengan kakaknya yg sangat suka susu formula yg sampai harus dibatasi per harinya supaya tidak kenyang saat waktunya makan utama. Sekarang, ia masih menyusu, ASI masih mengalir. Sebelum tidur dan bangun tidur hampir selalu menyusu. Mungkin karena sudah merasakan nyaman dengan menyusui langsung makanya susu formula tidak laku buatnya.


PERCOBAAN MENYAPIH

Karena sejak pandemi itu saya tidak pernah pisah dengan si bayi ini, waktu ada tawaran dari mertua untuk mengasuh si bayi 22 bulan ini, saya iyakan saja berhubung saya lagi repot proses pindahan Bandung-Cikarang sekalian coba-coba gimana responnya saat tidak diasuh ibunya. Saya titipkan dia selama 5 hari. Ternyata responnya bagus, tidak rewel, justru manja saat ada saya, padahal tidak minta menyusu kalau tidak ada saya. Sayangnya setelah itu ia sakit batuk pilek, dan saat bertemu saya dia masih minta menyusu, saya tidak tega jadi belum jadi menyapihnya hehehe.


KESIMPULAN

High Arched Palate sepertinya belum banyak yg membicarakan, atau mungkin banyak bayi yg mengalami tapi orang tuanya tidak sadar karena tidak dikonsultasikan dengan konselor menyusui. Pernah browsing dan menemukan kalau high arched palate ada keterkaitannya dengan penyakit-penyakit genetik, dengan kesulitan makan dan berbicara, gangguan napas dan tidur. Alhamdulillah sekali si bayi tidak sampai seperti itu, hanya di kesulitan menyusuinya saja. Sempat terpikir kenapa sampai si bayi lahir dengan high arched palate ini, karena kelainan ini akibat pembentukan organ yg tidak sempurna ketika janin. Teringat di awal kehamilan saya yg masih belum menerima kenyataan hamil lagi dan belum memberi asupan terbaik bagi saya dan janin meskipun saya kejar nutrisi di trimester kedua. Tapi penyesalan tidak ada gunanya. Syukur alhamdulillah saat ini dia tumbuh jadi anak yg sehat, cerdas, dan aktif. Semuanya menjadi pelajaran bagi saya. Kehamilan pertama dan kedua semuanya memberi saya pelajaran bahwa ikhtiar terbaik untuk mempersiapkan kehadiran seorang anak seharusnya sudah dilakukan sejak berencana untuk hamil atau bahkan mungkin harus diikhtiarkan sepanjang masa subur seorang perempuan karena bisa saja kehamilan datang di luar rencana manusia. Ikhtiar terbaik yg lillah, Insya Allah akan menghasilkan keturunan yg sehat jiwa raga dan sholeh-sholehah. Namun, jika sudah terlanjur, maka terlambat lebih baik daripada tidak sama sekali. Ikhtiar doa, nutrisi, olahraga, dan pikiran positif masih bisa dikejar. Jika ada yg tidak sesuai harapan, maka di situlah letak ujiannya sebagai ladang pahala kita. Allah kirimkan ujian itu untuk mengajari kita sesuatu yg lebih berharga lebih dari kesempurnaan seorang anak.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Handwriting Analysis (Analisis Tulisan Tangan/Grafologi) Bagian 2

Handwriting Analysis (Analisis Tulisan Tangan/Grafologi) Bagian 1

Senna's VBAC Story