Istri Bukan Pembantu

Seseorang pernah berkata padaku, "Kalau menikah bukan sunnah, mungkin perempuan nggak perlu nikah." Aku tak bisa menyalahkan alasannya berkata demikian. Pasalnya sebagai perempuan di negeri ini, menurutnya kehidupan pernikahan itu tidak bisa dibilang menyenangkan. Di negeri ini di mana budaya patriarkinya masih sangat kental, tak jarang beban perempuan setelah menikah itu sangat berat dialami.

Sebelum menikah, aku pun banyak mendapat kisah-kisah sejenis, kisah yang membuatku paham bahwa menikah itu adalah ibadah dan tanggung jawab yang sangat berat. Menikah bagiku bukan pelarian dari kehidupan yang sulit. Terpaparnya aku dengan kisah-kisah rumah tangga orang lain membuatku menyimpulkan bahwa kehidupan pernikahan akan lebih berat dibanding kehidupan semasa lajang.

Para perempuan di negeri ini setelah menikah harus siap meninggalkan rumah orang tuanya dan mengabdi untuk suaminya di rumah suaminya atau mungkin juga di rumah mertuanya. Mereka harus siap mengurus segala keperluan suaminya 24 jam tidak peduli apakah mereka sedang repot ataupun lelah. Jika merasa tidak nyaman dengan kehamilannya, mungkin mereka harus menerima dengan lapang dada jika suami atau keluarga mereka berkata untuk jangan terlalu manja. Jika melahirkan tidak secara normal, siap-siap saja disebut belum menjadi ibu yang seutuhnya. Menurut orang-orang sekitar mereka, mengurus anak itu tanggung jawab mereka seutuhnya. Jika anak rewel, sakit, jatuh, atau tidak dapat nilai yang bagus, dan sebagainya, itu adalah salah mereka mengasuh dan mendidiknya. Jika rumah berantakan dan masakan belum tersedia, padahal anak-anaknya ada 3 dan tidak ada khadimat, siap-siap saja disebut istri tidak becus dan diancam akan dimadu. Jika penghasilan suami belum mencukupi, istri dituntut ikut bekerja juga untuk membantu keuangan keluarga, tentunya dengan tanggung jawab rumah, dapur, dan anak-anak yang tetap ditanggung sang istri. Belum lagi tuntutan istri untuk harus selalu menjaga penampilannya di tengah perjuangannya mengurus rumah dan anak-anak tanpa dana yang memadai.

Sungguh berat jadi perempuan di negeri ini kurasa. Semua tuntutan itu bahkan terasa datangnya bukan hanya dari para suami, tetapi juga dari keluarga dan sesama perempuan lainnya. Tak sedikit kisah perempuan yang sudah berjuang menjadi seorang istri dan ibu yang baik hingga tampilan wajahnya menua jauh lebih cepat dibanding usia jasadnya. Jika terjadi apa-apa dengan mereka oh para istri dan ibu yang baik, sang suami yang masih gagah karena tak berkecimpung dalam lelahnya rutinitas rumah akan memilih menikah lagi kecuali hanya sedikit sekali laki-laki yang tidak melakukannya.

Ah, aku pun sampai sudah siap yang terpahit ketika diperintah oleh orang tuaku untuk menikah. Mereka tak bisa menanggung stigma masyarakat jika masih memiliki anak gadis yang belum menikah di umur 20 tahunnya dan juga tak ingin lebih lama membiayai dan menghidupi anaknya yang sudah dewasa. Aku tak berharap banyak dari sebuah ikatan pernikahan. Yang aku tahu, aku harus terus belajar dan bersabar dalam ibadah terpanjang hingga akhir hidup ini. Sedikit yang bisa kulakukan adalah membuat perjanjian pra nikah dengan calon suami dan mengusulkan jumlah anak yang hanya sedikit saja agar aku sebagai ibu nanti tidak sampai terlalu lelah mengurus anak karena aku tidak ingin anak-anakku terlunta-lunta jika terjadi apa-apa padaku.

Waktu berjalan dan selama kehidupan pernikahan berlanjut, alhamdulillah suami adalah orang yang taat beragama, sabar, dan juga ringan tangan dalam membantu istrinya. Namun, dalam hatiku masih merasakan beban berat jika hal tersebut menyangkut rumah dan anak-anak. Kerapihan dan kebersihan rumah, kesehatan dan perkembangan anak-anak, dan ketersediaan bahan makanan, dalam alam bawah sadar, aku merasa semua adalah tanggung jawabku. Kehadiran suami, bagiku adalah waktuku harus memberikan diriku yang terbaik. Dalam berpakaian dan bersikap harus yang terbaik. Jadi justru ketika suami tak ada di rumah, aku bisa bersikap dan merasa lebih santai. Apakah itu wajar? Apakah hanya aku yang merasakannya ataukah banyak perempuan merasakannya juga?

Ah, semua terasa berat hingga jika aku merasa senang bisa beraktivitas sendirian tanpa suami dan anak-anak, aku menjadi merasa bersalah telah memiliki perasaan demikian dalam hatiku. Tapi suatu hari aku melihat iklan sebuah buku di IG, buku Istri Bukan Pembantu karya Ust. Ahmad Sarwat L.C. Aku ingin sekali membacanya namun belum ada kesempatan. Hingga hari ini aku mendengarkan sebuah podcast yang membahas isi buku tersebut, ah rasanya aku ingin seluruh perempuan di negeri ini tahu isi buku tersebut.

Dalam podcast tersebut, buku Istri Bukan Pembantu tersebut diulas secara bebas oleh sepasang suami istri di mana sang suami adalah seorang ustadz dan istrinya adalah seorang lulusan psikologi. Saya sering mengikuti tulisan-tulisan sang istri. Di awal podcast itu dijelaskan latar belakang Ust. Ahmad Sarwat membuat buku tersebut. Diceritakan kisahnya bahwa ada seorang ibu-ibu yang bertanya di sebuah ta'lim yang diisi oleh Ust. Ahmad Sarwat di Doha, Qatar. Katanya, mengapa di sini (Doha) yang sering terlihat berbelanja di pasar dan hilir mudik di keramaian adalah bapak-bapak dan bukan ibu-ibu? Mengapa kebiasaan di sini (Doha) berbeda dengan di Indonesia? Apakah ini memang ajaran Islam ataukah hanya budaya saja? Ternyata kebiasaan di mana para bapak menjadi penanggung jawab utama urusan domestik dengan berbelanja ke pasar, memasak, dsb tidak terjadi hanya di Qatar saja, tapi juga di beberapa negara Arab. Buku ini akhirnya lahir karena banyaknya permintaan untuk membahas hal tersebut dalam bentuk buku.

Inti dari buku ini sebenarnya adalah pembahasan pandangan 5 mahzhab mengenai kewajiban istri untuk berkhidmat kepada suami. Ternyata kelima mahzhab tersebut sepakat bahwa istri tidak wajib mengerjakan berbagai urusan domestik seperti memasak, mencuci, bebersih rumah, dsb. Jika di Indonesia didapati hal sebaliknya, itu ternyata karena budaya dan bukan berasal dari syariat Islam. Jika melihat dari judulnya, mungkin para istri mengira buku ini bisa menjadi senjata untuk melawan suami, tapi sebenarnya tidak. Dalam buku ini dibahas apa saja kewajiban dan hak suami dan istri sehingga penulis berharap dapat mengembalikan lagi posisi suami dan istri sesuai fitrahnya.

Menurut penulis, perlu dipahami bahwa prinsip dalam rumah tangga bukanlah seperti yang kita kira selama ini yaitu istri menjadi pembantu/abdi/pelayan suami yang harus mengurus segala keperluan suami. Bukan pula suami yang menjadi pembantu istri atau istilahnya suami-suami takut istri. Prinsip dalam rumah tangga sejatinya adalah ta'awun atau tolong menolong dan bahu membahu menyelesaikan semua urusan di rumah. Penulis juga ingin meluruskan stigma-stigma yang terlanjur mengakar kuat di masyarakat kita yang mengakibatkan para ibu dan istri memiliki beban kewajiban yang sangat berat sekali.

Dalam bab 4 dijelaskan bahwa ternyata istri itu tidak wajib berkhidmat kepada suami. Istri tidak wajib berkhidmat kepada suami di sini dalam artian istri tidak wajib melakukan pekerjaan domestik seperti mencuci, memasak, beberes rumah, dsb. Justru suamilah yang wajib berkhidmat kepada istri. Berkhidmat di sini definisinya adalah memberikan pelayanan atau melayani. Nah, suami melayani istri di sini artinya suami memberikan nafkah berupa pangan, sandang, dan papan. Mengapa suami yang wajib berkhidmat kepada istri? Karena beban dan tanggung jawab istri yang tidak bisa diwakilkan oleh suami sudah begitu berat. Apa sajakah itu? Hamil, melahirkan, dan menyusui. Di saat-saat itulah para suami harus mengasah kepekaan dan empatinya untuk bisa memberikan pelayanan terbaik pada istrinya berupa makanan terbaik untuk pemenuhan gizi calon buah hati, pakaian yang layak, dan tempat tinggal yang nyaman. Karena para suami tidak bisa menggantikan istri dalam hal hamil, melahirkan, dan menyusui, dan bahkan tidak akan pernah bisa merasakannya.

Urusan domestik bahkan bukanlah beban pikiran bagi para istri, justru suamilah yang harus mengupayakan bagaimana caranya agar urusan domestik bisa beres. Apakah dengan mengirimkan pakaian ke laundry selama masa nifas istri, apakah dengan membeli lauk matang, apakah dengan memperkerjakan asisten rumah tangga, atau bahkan dengan turun tangan sendiri menyelesaikan semua pekerjaan rumah.

Selain itu, sering sekali kita temui suami yang mengancam istri dengan sebuah hadits mengenai terlaknatnya seorang istri yang menolak ajakan suami berhubungan badan. Bagi para istri, hadits ini terdengar mengerikan. Tapi penulis menjelaskan bahwa hadits ini sesungguhnya bukanlah ancaman bagi para istri, melainkan hadits ini memberikan petunjuk betapa hubungan seksual itu sangat penting sekali bagi laki-laki. Di situlah titik lemah laki-laki yang jika kebutuhan ini tidak terselamatkan, yang mana hanya bisa dilakukan oleh istri sahnya sendiri, maka suami berpotensi terjerumus ke berbagai kemaksiatan. Maka hadits ini sesungguhnya mengajak para istri untuk benar-benar menjadi benteng pertahanan suaminya dari segala kemaksiatan dengan menjadi sebaik-baiknya tempat suami menyalurkan syahwatnya.

Suami pun tentu harus bijak ketika mengajak istri untuk berhubungan badan dengan melihat kondisi istri. Tidak mungkin Allah akan melaknat seorang istri yang sudah kerepotan sejak pagi berjuang untuk keluarganya jika di malam hari tidak bisa mengiyakan ajakan suaminya untuk berhubungan. Sebenarnya sebuah dalil itu tidaklah pantas kita jadikan hujjah untuk membenarkan tindakan kita. Hadits ini lebih tepat menjadi ajakan para istri untuk memperhatikan kebutuhan seksual suaminya dibanding menjadi ancaman dari suami untuk istrinya.

Sejatinya memahami hadits itu tak bisa hanya secara tekstual saja, tetapi harus juga secara kontekstualnya. Begitu pula hadits ini, ternyata hadits tersebut berlaku dalam konteks ketika istri menolak suami yang sudah memenuhi kewajibannya memberikan pelayanan kepada istri secara maksimal berupa pangan, sandang, dan papan hingga istri sudah nyaman dan tidak kerepotan namun istri tetap menolak berhubungan badan. Sedangkan sering sekali kita temui di Indonesia, istri dengan segudang kerepotannya dari pagi buta hingga larut malam masih diancam dengan hadits ini oleh suaminya. Jika kasusnya istri sudah lelah karena banyak pekerjaan, maka hadits tersebut tentu menjadi tidak berlaku. Islam itu sebenarnya adalah agama yang memudahkan dan mengajak pengikutnya untuk menjadi umat pertengahan jika kita mau terus mempelajari dan meningkatkan pemahaman agama kita.

Ah, betapa mendengar podcast ini hatiku rasanya plong. Beban yang berat seakan terangat dari pundakku. Ternyata stigma dan kisah-kisah yang selama ini kudengar bukanlah ajaran Islam. Ternyata aku tidak dituntut oleh agama untuk menjadi super women yang sempurna dan segala bisa. Aku hanya perlu memahami posisiku sebagai istri dan ibu dengan segala hak dan kewajibanku. Mendengar podcast ini aku juga jadi tau bahwa ternyata kewajiban dan tanggung jawab suami juga begitu berat. Ikut membantunya dalam urusan rumah tentu akan meringankan beban pikirannya dan juga akan jadi amal baik bagiku.Jadi para istri, mari kita belajar lagi dan mengkaji lagi hakikat pernikahan dan juga apa saja hak dan kewajiban kita sebagai istri. Bagi yang masih lajang juga sangat penting sekali mempelajari masalah rumah tangga ini karena ini adalah ibadah terpanjang dalam hidup. Para suami dan calon suami yang masih lajang apalagi. Jangan sampai ada lagi laki-laki yang niatnya menikah hanya supaya ada yang mengurus dan melayani dirinya. Ah, tak tahukah kalian bahwa menjadi suami itu berat sekali tanggung jawabnya? Aku sangat berharap kepada para lelaki, jadilah pengayom bagi istri kalian, dan kepada para wanita, jadilah benteng pertahanan bagi suami kalian. Semoga rumah tangga kita selalu dikaruniai sakinah, mawaddah, dan rohmah. Aamiin ya Rabb.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Handwriting Analysis (Analisis Tulisan Tangan/Grafologi) Bagian 2

Handwriting Analysis (Analisis Tulisan Tangan/Grafologi) Bagian 1

Teh Diah Mahmudah: Penulis Buku Anger Management yang Inspiratif