[NHW #3] MIIP Batch #4: Membangun Peradaban dari Dalam Rumah

Memasuki materi yang ketiga, NHW MIIP semakin sulit dan menantang hingga sejak soal diberikan hingga H-1 mengumpulan, sebagian besar waktu saya gunakan untuk memahami soal dan sebagian kecilnya mencari jawaban. Karena saya sudah menikah maka soal untuk saya di NHW #3 ini adalah sebagai berikut.


Bagi anda yang sudah berkeluarga dan dikaruniai satu tim yang utuh sampai hari ini.

a. Jatuh cintalah kembali kepada suami anda, buatlah surat cinta yang menjadikan anda memiliki "alasan kuat" bahwa dia layak menjadi ayah bagi anak-anak anda. Berikan kepadanya dan lihatlah respon dari suami.

b. Lihatlah anak-anak anda, tuliskan potensi kekuatan diri mereka masing-masing.

c. Lihatlah diri anda, silakan cari kekuatan potensi diri anda. Kemudian tengok kembali anak dan suami, silakan baca kehendak Allah, mengapa anda dihadirkan di tengah-tengah keluarga seperti ini dengan bekal kekuatan potensi yg anda miliki.

d. Lihat lingkungan di mana anda tinggal saat ini, tantangan apa saja yang ada di depan anda? Adakah anda menangkap maksud Allah, mengapa keluarga anda dihadirkan disini?

Setelah menjawab pertanyaan - pertanyaan tersebut di atas, sekarang belajarlah memahami apa sebenarnya "peran spesifik keluarga" anda di muka bumi ini.

Poin A

Meskipun saat ini saya masih menjalani proses untuk jatuh cinta pada suami (karena sebelum menikah kami belum pernah kenal sebelumnya) sehingga belum bisa saya untuk kembali jatuh cinta, saya tetap menuliskan surat cinta untuk suami. Sebuah surat cinta yang menurut saya kurang romantis dan berisi banyak curhat. Meski demikian, tanpa disangka, suami memberikan ucapan terima kasih dengan sangat manis atas surat cinta tersebut.

Poin B

Saya adalah seorang istri dan juga ibu baru. Anak saya saat ini masih berumur 2,5 bulan. Masih sulit bagi saya untuk melihat potensinya. Namun, hingga saat ini tumbuh kembangnya alhamdulillah normal dan cenderung pesat dibandingkan bayi-bayi pada umumnya. Hal ini sudah merupakan modal utama anak saya untuk dapat beraktivitas dengan baik dan berkontribusi untuk dunia saat dewasa nanti.

Poin C Dan D

Saat ini saya masih menumpang di rumah orang tua, setelah sebelumnya saya mengontrak di Bekasi karena saya bekerja di Jakarta dan suami bekerja di Cikarang. Jadi tempat tinggal saat ini bukanlah tempat tinggal tetap yang akan saya dan keluarga hidupi. Lingkungan tempat tinggal orang tua adalah tempat yang cukup kondusif. Daerah perumahan yang tenang dengan tetangga yang ramah dan sebagian besar sudah berumur lanjut karena sebenarnya tempat tinggal orang tua sekarang ini awalnya adalah rumah eyang yang dibeli oleh orang tua.

Belum memiliki tempat tinggal yang tetap membuat saya belum bisa menjawab poin tugas yang ini. Namun, saya dapat merasakan maksud Allah menghadirkan saya dan suami di tengah-tengah keluarga besar kami. Saya adalah cucu pertama dari keluarga besar saya di mana anak-anak perempuan eyang saya semuanya adalah wanita karir kecuali ibu saya yang sudah resign karena sakit. Sebelum menikah, saya sangat banyak mendapatkan nasihat dari eyang dan ibu saya bahwa saya harus tetap berdaya setelah menikah yaitu dengan bekerja sebagai wanita karir. Apalagi dengan track record saya yang pernah menjadi mahasiswa sebuah institut negeri yang terbilang salah satu yang terbaik di Indonesia. Sedangkan anak-anak eyang saya tidak pernah ada yang berkesempatan berkuliah di perguruan tinggi negeri kecuali ibu saya dan itu pun hanya setingkat D3. Tentunya harapan keluarga besar terhadap saya menjadi wanita karir cukup tinggi. Alasan lain yang saya dapatkan dalam wejangan mereka untuk menjadi wanita karir adalah agar saya sebagai perempuan tidak kalah dengan suami sehingga tidak akan diinjak-injak dan dapat mandiri seandainya nauzubillah terpaksa harus tidak lagi bersama suami. Namun, saya yang kebingungan dalam menjalankan karir di luar rumah karena merasa tidak sesuai dengan passion dan fitrah saya akhirnya saat ini memutuskan untuk berhenti bekerja dan fokus untuk menjadi ibu (karena saya baru saja melahirkan anak pertama 2,5 bulan lalu). Ini adalah salah satu hal yang terus saya pikirkan sejak sebelum menikah dulu bahwa konsep mereka menganjurkan saya untuk berkarir di perkantoran sebenarnya kurang tepat karena saya justru merasa akan menyalahi kewajiban saya sebagai ibu jika bekerja meninggalkan anak 8 jam sehari.

Semuanya berawal dari masa kecil saya di mana saat itu kedua orang tua masih bekerja dan saya beserta adik-adik diasuh oleh asisten rumah tangga. Saat itu karakter para ART masih lebih baik dibanding ART sekarang. Namun, pengalaman buruk diasuh oleh mereka sangat teringat jelas dalam ingatan saya yang masih anak-anak tetapi sudah dapat mengerti banyak hal. Alhamdulillah, yang mengalami hal ini hanya saya dan tidak dengan adik-adik saya karena saat itu mereka belum mengerti. Dari sana saya belajar untuk memutar otak dalam keadaan tertekan agar tidak mengalami pengalaman yang buruk lagi dengan cara melakukan apapun agar para ART itu tidak betah tinggal di rumah hingga orang tua heran tak pernah lagi ada ART yang bertahan lebih dari sebulan. Namun, dari sana juga saya belajar bahwa saya tak bisa mempercayai dan bergantung pada orang lain dan hal ini terbawa hingga saya dewasa. Saat SMP hingga SMA saya mengalami sedikit gangguan mental yaitu Social Anxiety Disorder di mana saat itu saya sulit sekali berteman dan tertekan jika berada di antara orang asing sehingga saya lebih memilih menghabiskan waktu sendirian. Orang tua saya tak tahu hal tersebut hingga akhirnya saya sembuhkan sendiri selama 6 tahun dengan berbekal banyak membaca juga takdir Allah yang mempertemukan saya dengan teman yang akhirnya berperan sangat besar dalam pemulihan saya.

Dari pengalaman tersebut saya sadar bahwa sungguh menderita rasanya mengalami pertumbuhan mental yang kurang sehat dan saya berpikir bahwa setiap anak berhak untuk tumbuh dengan sehat baik jasad maupun jiwanya. Saya tidak ingin kelak anak saya mengalami hal yang sama dan apakah hal tersebut dapat saya lakukan jika saya bekerja kantoran 8 jam sehari? Saya tidak ingin mengorbankan jiwa anak saya. Meskipun saat ini saya masih kesulitan mengatur emosi ditambah lagi masih ada inner child alias trauma masa kecil akibat asuhan orang tua, saya ingin terus berusaha memberikan pertumbuhan jasad dan jiwa yang sehat untuk anak-anak saya kelak.

Saya pikir di sinilah potensi saya. Keinginan saya sangat kuat untuk membentuk jiwa anak yang sehat dengan pengasuhan terbaik yang sesuai dengan jaman saat ini. Saya juga berkeinginan kuat untuk menjalani bahtera rumah tangga sesuai dengan yang Allah perintahkan dan bukan hanya sekadar menikah saja. Akhirnya saya fokus untuk menjadi ibu meskipun masih ada keinginan untuk mengaktualisasikan diri tetapi bukan di perkantoran yang dampaknya adalah memperkaya orang lain (pemilik perusahaan). Keinginan saya ini bertolak belakang dengan kondisi keluarga besar saya dan saya terlihat aneh karena berbeda sendiri sehingga yang menjadi tantangan adalah apakah keluarga saya dapat bertahan dengan cara yang saya dan suami tempuh saat ini? Apakah saya dapat menunjukkan pada keluarga besar bahwa saya tetap berdaya dengan fokus berperan di rumah? Juga dengan kondisi keluarga besar yang mayoritas memiliki masalah dalam hubungan suami-istri karena keduanya bekerja, tantangannya adalah apakah saya dapat menunjukkan bahwa hubungan saya dan suami akan baik-baik saja meskipun saya tidak berkarir di luar rumah? Apakah keluarga saya dengan cara yang berbeda dengan mereka dapat menjadi teladan untuk memperlihatkan kehidupan rumah tangga yang sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah?

Di sisi lain, suami juga merupakan salah satu pelopor di keluarga besarnya yang menikah muda, menikah sebelum mapan, sehingga sebelum menikah sering dipertanyakan. Bukankah sebaiknya punya kerja tetap yang gajinya lumayan dulu? Bukankah lebih baik punya rumah dulu? Bukankah lebih baik membahagiakan orang tua dulu? Namun, suami memilih untuk menikah muda dengan kondisi tantangannya apakah kami dapat menunjukkan bahwa menikah sebelum mapan dapat menjadikan mapan? Apakah kami dapat menunjukkan bahwa menikah muda tetap masih dapat membahagiakan orang tua? Apakah kami dapat menunjukkan bahwa menikah muda akan membuka pintu rejeki?
Akhir kata, saat ini saya masih belum menemukan misi spesifik keluarga kami. Namun, di tengah keluarga besar kami dengan keadaan seperti demikian, kami ingin menjadi pelopor perubahan yang ingin mengamalkan kehidupan pernikahan sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah. Semoga Allah meridhoi niat baik kami dan selalu membimbing kami di jalan-Nya. Aamiin allahumma aamiin.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Handwriting Analysis (Analisis Tulisan Tangan/Grafologi) Bagian 2

Handwriting Analysis (Analisis Tulisan Tangan/Grafologi) Bagian 1

Teh Diah Mahmudah: Penulis Buku Anger Management yang Inspiratif