Perjuangan Seorang Jobseeker: Part 1

 
Sebagai seorang sarjana, setelah lulus pun aku menjalani hal-hal yang banyak sarjana lainnya jalani, yaitu mencari pekerjaan. Proses pencarian pekerjaan pun di jaman sekarang ini, di mana jumlah sarjana sudah sangat melimpah, seperti yang telah diketahui banyak orang, bukanlah hal yang mudah. Aku pun merasakan hal yang sama. Di awal proses, begitu banyak pikiran, waktu, tenaga, bahkan emosi terkuras. Aku yang saat itu demikian bertekad untuk mendapatkan pekerjaan, benar-benar melakukan berbagai cara yang dapat kulakukan. Mulai dari berlatih membuat CV yang baik dan menarik, belajar dan berlatih soal-soal TPA dan psikotes, membeli dan membaca buku tips sukses wawancara kerja, hingga memikirkan pakaian apa yang sebaiknya dipakai jika nanti dipanggil wawancara kerja. Dalam menjalani prosesnya pun, sejak mengirimkan CV hingga menjalani wawancara kerja, emosi benar-benar terkuras karena harap-harap cemas, khawatir tidak lolos, dan tegang saat menjalani wawancara.

Menurut teori, tentu sangat jarang keberhasilan diperoleh pada percobaan pertama sehingga aku mempersiapkan diri untuk gagal di awal-awal proses. Meski demikian, kegagalan benar-benar menguras emosi. Aku tahu ini adalah perjuangan yang harus dilakukan karena itulah tiap kegagalan demi kegagalan aku mencoba untuk mencari tahu penyebabnya dan bagaimana aku harus memperbaikinya. Akhirnya di percobaan yang ke sekian, aku berhasil mendapatkan apa yang aku inginkan, yaitu diterima bekerja di suatu perusahaan. Waktu yang kubutuhkan untuk diterima bekerja setelah sebenarnya masih tergolong cepat dibanding orang lain, tetapi bagiku saat itu aku merasa jika mengalami lebih banyak lagi kegagalan diterima kerja mungkin aku akan menyerah sehingga saat diterima aku sangat bersyukur sekali.

Saat itu tujuanku tidak muluk-muluk, aku tak menargetkan untuk diterima bekerja di perusahaan besar dengan gaji dua digit di depan 6 buah angka nol, aku hanya ingin pernah diterima bekerja di suatu perusahaan karena berhasil melalui tes seleksi kerja. Hal tersebut menurutku akan meningkatkan kepercayaan diri yang saat itu masih pesimis tentang masa depan karirku.

Namun, ternyata sekarang aku seperti menyadari sesuatu. Ada satu hal yang masih mengganjal yang kurasakan. Sudah setahun lebih sejak aku menjadi sarjana, selama menjalani tes seleksi kerja, belum pernah aku lolos tes pada bagian psikotes. Ketika aku saat itu akhirnya diterima bekerja di perusahaan, tak ada psikotes yang diujikan, hanya tes tulis yang menguji kemampuan matematika dan wawancara biasa. Lalu aku sadar, ketika sudah diterima, orang-orang di tempat kerjaku tersebut seperti kekurangan sesuatu sifat atau kepribadian, maksudnya tidak seperti orang-orang hebat yang biasa kulihat ketika di kampus. Selidik punya selidik, ternyata memang untuk dapat menyelesaikan pekerjaan di sana tidak memerlukan kepribadian menarik, atau jiwa pemimpin, dan sebagainya, yang dibutuhkan hanya sifat telaten dan tekun menjalani rutinitas.

Cukup setahun aku merasakan pengalaman bekerja di sana karena aku merasa menjadi pribadi yang kurang berkembang. Kembali menjadi pengangguran, waktu luang menjadi remedi bagiku yang ketika bekerja selalu merasa lelah dengan rutinitas tanpa makna. Waktu yang banyak membuatku memikirkan kembali apa yang sebenarnya kuinginkan. Akhirnya aku belajar satu hal bahwa menjalani rutinitas hidup hingga tak bisa memikirkan hal-hal lain lambat laun akan menjadikan jiwa dan batin lelah dan aku tahu itu bukanlah hal yang kuinginkan.

Kini, setelah tahu apa yang sebenarnya kuinginkan, tak sengaja aku kembali mencoba melamar pekerjaan. Panggilan tes pun datang tak disangka-sangka karena sebelumnya pun memang aku tidak terlalu berharap, aku hanya ingin mencoba mencari pengalaman dalam mencari kerja di bidang yang saat ini menjadi minatku. Setelah menjalani tes, aku kembali menyadari sesuatu yang membuatku teringat kembali perjuanganku dulu dalam mencari pekerjaan.

Aku baru sadar bahwa perjuangan dalam mencari kerja sebetulnya adalah proses belajar dan proses penemuan jati diri. Pernah kubaca bahwa menjalani psikotes bukanlah seperti menjalani ujian biasa yang sebelumnya dapat dipelajari terlebih dulu. Memang soal-soal psikotes dapat dipelajari, tetapi tujuan psikotes adalah menilai kondisi psikis kita saat menjalani tes tersebut sehingga mau bagaimanapun kita belajar, kita tak dapat memanipulasi kondisi psikis kita. Pada akhirnya, psikotes dapat menunjukkan diri kita yang sebenarnya.

Kembali teringat masa-masa awal mencari pekerjaan, tes kerja benar-benar sangat berat kujalani karena dalam pikiranku selalu aku harus lolos dan diterima. Pikiran ini membuatku semakin sulit berpikir jernih selama menjalani tes. Barangkali itulah salah satu alasan selama ini aku belum pernah lolos psikotes. Lalu aku berpikir, jika demikian tentu sulit bagi orang yang memiliki kepribadian yang kurang baik untuk mendapatkan pekerjaan yang baik. Aku mulai gusar memikirkan seandainya akulah yang berada di posisi orang dengan kepribadian kurang baik itu. Segera kucari solusi dan yang terbayang olehku adalah belajar. Kali ini bukan belajar mengerjakan soal-soal psikotes, melainkan belajar untuk menjadi pribadi dengan level psikis yang lebih tinggi, bahasa mudahnya adalah menjadi bijak. Hal tersebut hanya dapat diperoleh dengan pelan-pelan mengambil hikmah dari tiap pengalaman, terutama dari tiap kegagalan dalam mencari kerja.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Handwriting Analysis (Analisis Tulisan Tangan/Grafologi) Bagian 2

Handwriting Analysis (Analisis Tulisan Tangan/Grafologi) Bagian 1

Senna's VBAC Story